KOPENHAGEN, I LOV IT
- Kategori Induk: LIFESTYLE & LEISURE
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Jumat, 27 Maret 2009 18:24
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 3098
- 27 Mar
Kemeriahan Town Hall Square -halaman depan gedung Town Hall- yang tak pernah mati seakan memberikan sambutannya tatkala kaki saya melangkah keluar dari bus, untuk selanjutnya menyusuri Vester Voldgade yang hiruk pikuk oleh seliweran berbagai macam kendaraan. Sepintas saya melihat museum Ripley’s believe it or not sedang diantre oleh ratusan pengunjung. Rata-rata mereka adalah anak-anak sekolah tingkat dasar yang mungkin sedang berdarmawisata di kota yang juga dikenal dengan sebutan Kobenhavn ini.
Saya sendiri lebih tertarik untuk menyeberang jalan menuju ke kios Copenhagen Visitor Bureau yang terletak di Town Hall Square untuk mendapatkan peta kota yang menurut supir bus khusus turis, diberikan secara gratis.
Terus terang saya terkesan dengan keramahtamahan bangsa Danish ini, terutama terhadap mereka yang bekerja di bagian public service. Pada umumnya mereka melayani para konsumen dengan senyum. Ditopang penguasaan bahasa Inggris yang cukup bagus, hal ini memudahkan para wisatawan asing dalam berkomunikasi.
Ternyata, apa yang saya dapatkan di Copenhagen Visitor Bureau itu lebih dari sekedar selembar peta. Saat saya dengan memberikan pujian atas keramah-tamahannya, petugas di sana malah memberikan sebuah pin mungil bergambar bendera Denmark. Wow, betapapun kecil dan sederhananya sebuah pemberian, when you don’t expect to have it, it’s really entertaining, isn’t it?
Penghormatan pada H.C. Andersen
Dari sana saya berjalan ke arah sisi lain dari Town Hall Square, menuju sebuah jalan besar yang namanya sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan anak-anak yang gemar membaca cerita-cerita dongeng macam Hanzel and Gretel, Cinderella atau Little Mermaid. Ya, nama pengarangnya, Hans Christian Andersen, memang diabadikan menjadi sebuah nama jalan besar di jantung kota Kopenhagen – H.C. Andersen Boulevard.
Patung H.C. Andersen yang sedang berdiri memandang ke langit itu sengaja diletakkan di daerah strategis tersebut. Tujuannya adalah agar para generasi sekarang senantiasa ingat dan berbangga bahwa mereka pernah memiliki seorang penulis dongeng anak-anak dengan popularitas yang mendunia dan legendaris, bahkan sampai saat ini.
Tak cuma itu, bahkan di museum lilin Louis Tussaud’s Wax Musseum yang letaknya berseberangan dengan gedung Town Hall di H.C.Andersen Boulevard, lagi-lagi patung lilin H.C.Andersen beserta Little Mermaid-nya dipajang di bagian pintu utama.
Ketika mengelilingi kota dengan menumpang bus wisata double decker tadi, saya sempat menyaksikan betapa Kopenhagen ternyata memiliki banyak bangunan berupa kastil ataupun istana yang keindahan dan kemegahannya tidak kalah dengan bangunan serupa yang ada di London ataupun Paris. Beberapa bangunan tampak memiliki gaya unik perpaduan antara arsitektur khas Nordic dan Romawi dengan pengaruh Balkan, terutama pada bagian puncak menara-menaranya. Christianborg Palace, Amalienborg dan Rosenborg, adalah beberapa diantara bangunan megah yang sempat mencuri perhatian saya.
Namun, tentunya bukan cuma bangunan-bangunan megah bernilai sejarah itu saja yang membuat kota ini memiliki daya tarik tersendiri bagi saya…
Wisata Alternatif: Kopenhagen Red Light District
Ketika bus telah membawa saya berputar-putar ke hampir seluruh pelosok Kopenhagen, dalam hati saya sempat bertanya-tanya, di manakah komplek Red Light District Kopenhagen? Padahal, biasanya pada setiap kota besar, apalagi di Eropa, selalu memiliki komplek Red Light District yang terpusat di daerah tertentu. Terus terang, kunjungan ke red light district selalu saya lakukan sebagai suatu bentuk ‘investigasi’ bila saya berada di suatu kota yang saya singgahi. Sebagai travel writer, saya wajib menginformasikan kepada para kenalan dan pembaca mengenai situasi di daerah tersebut meski hanya secara garis besar. Karena sudah merupakan rahasia umum bahwa jenis ‘obyek wisata’ yang satu ini senantiasa menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi ‘unwritten agenda’ para wisatawan pada umumnya.
Saat bus melintas di kawasan Central Station yang letaknya berseberangan dengan Tivoli Garden dan Hard Rock Café, di daerah belakang stasiun, tepatnya di seputar Istedgade, Helgolandsgade dan Colbjornsensgade yang terkenal sebagai ‘perkampungan’ hotel berbintang tiga ke atas di Kopenhagen, saya melihat ada pemandangan unik yang seketika menggelitik rasa ingin tahu.
Saya memutuskan untuk turun dari bus di daerah itu karena ingin melakukan eksplorasi secara lebih detil yang hanya mungkin dilakukan dengan berjalan kaki menyusuri jalan-jalan sempit di daerah tersebut. Untungnya, karcis seharga 200 Krone (1 Krone = Rp 1300) yang saya beli di atas bus tadi berlaku untuk multiple ride 24 jam, sehingga saya bisa menyetop bus berikutnya tanpa harus membayar lagi.
Berbaur diantara bangunan megah hotel-hotel berbintang, saya menyaksikan tulisan-tulisan semacam: ‘Girls Live Show’, ‘Sex-Shop’, ‘Peep-show’, ‘Striptease’ dan semacamnya terpajang dalam ukuran besar di etalase sebagian besar ‘toko’. Ditingkahi cahaya lampu sorot warna merah-biru, warna khas red light district ditambah gambar poster dan foto-foto seukuran manusia yang sengaja dibuat untuk ‘membangkitkan gairah’. Kesan ini diperjelas tampilan beberapa wanita muda yang berdandan seronok dan berpakaian seksi berdiri di trotoar jalan, yang tanpa sungkan berbaur dengan rombongan turis mancanegara yang hilir mudik di daerah tersebut.
Di sinilah justru letak keunikan red light district Kopenhagen yang berada di tengah-tengah kawasan elit hotel berbintang, di mana setidaknya menjadi tempat bermalam para turis dari kalangan menengah ke atas. Satu hal yang membuat saya salut bahwa tidak seperti kebanyakan red light district di kota lain, red light district Kopenhagen jauh dari kesan kumuh, berbahaya atau bahkan angker.
Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah bahwa di kota ini kaum homoseksual dan lesbian juga seakan tak malu-malu untuk menunjukkan identitas dirinya. Beberapa hotel yang terdapat di brosur wisata bahkan secara terang-terangan menuliskan kata ‘gay hotel’ dalam iklannya. Demikian pula dengan bar, café maupun sauna house yang banyak tersebar di daerah Studiestraede yang secara eksplisit menuliskan kata ‘men only’ atau ‘ladies only’ dalam ukuran yang eye-catching di etalasenya. Bahkan, masih di brosur wisata, tertulis bahwa Ørsteds Parken, sebuah taman di pusat kota adalah ajang rendez-vous dan arena ‘cruising’ favorit bagi para gay.
Tivoli Garden, I LOV IT
Berkunjung ke kota havn (pelabuhan) ini belum lengkap apabila tidak mengunjungi Tivoli Garden, begitu kata teman karib saya, pasangan Denmark-Singapore: Peder dan Lien Nielsen.
Tempat ini telah menjadi semacam icon bagi Kopenhagen selain patung mungil The Little Mermaid yang terletak di Langelinie di daerah Nordhavn –pelabuhan di sebelah utara Kopenhagen. Strøget - shopping street yang konon terpanjang di dunia membentang dari Frederiksberggade sampai Ostergade dan dari Frederikborggade hingga St. Kirkestraede dengan panjang total mencapai 20 km. Ataupun Nyhavn (New Haven) – daerah bekas pelabuhan di masa lalu yang saat ini menjadi pusat kehidupan malam Kopenhagen yang sarat dengan hingar-bingar jenis hiburan khas metropolis di berjenis restoran, bar, café maupun diskotek!
Dari pintu masuk Tivoli yang berada di Vesterbrogade, pandangan saya langsung terpukau oleh suasana meriah mirip Disneyland dalam skala yang lebih kecil. Nun jauh di depan saya, terlihat sebuah bangunan mirip masjid berwarna putih yang di halaman depannya terdapat air mancur berwarna-warni akibat permainan sinar lampu; The Tivoli Concert Hall yang juga difungsikan sebagai restoran dengan sajian aneka makanan khas Timur Tengah. Belum lagi dengan arena teater terbuka dengan panggung yang luas, masing-masing memiliki tema tersendiri dengan dekorasi yang sangat spesifik dan berubah-ubah dari waktu ke waktu.
The Pantomime Theater misalnya, saat itu didekorasi bergaya istana China tempo dulu. Di sini pada jam tertentu diadakan pertunjukan pantomim yang berbeda-beda, ditingkahi dengan pertunjukan akrobatik yang sanggup membuat penonton menahan napas.
Sementara di Plaenen – The Open Air Stage, di sana dipertontonkan pertunjukan sulap dari 3 bersaudara asal Rusia yang penuh dengan adegan-adegan ‘berbahaya’.
Sajian utama di taman hiburan favorit Ratu Denmark di masa kecilnya itu adalah aneka permainan untuk anak dan juga orang dewasa yang jumlahnya lebih dari 25 jenis; mulai dari Den Flyvende Kuffert – The Flying Trunk, Dragebádene – The Dragon Boat sampai ke arena balap mobil boom-boom car – Radiobilerne dan Rutschebanen atau roller coaster.
Disamping itu, jajaran bermacam restoran bercita rasa internasional turut meramaikan taman hiburan yang hanya dibuka saat musim semi dan musim panas ini. Bahkan restoran-café ngetop asal Amerika – Hard Rock Café ikut membuka cabangnya di dalam Tivoli Garden, yang terletak tepat di sebelah kiri pintu masuk dari Vesterbrogade. Tempat ini juga bersebelahan dengan kios-kios yang menjual suvenir khas Denmark seperti patung perak The Little Mermaid dalam berbagai ukuran, perahu Viking dari kayu, patung serdadu Viking tempo doeloe bersenjata tombak, pedang dan tameng besi, maupun hiasan gambar dinding tiga dimensi dengan berbagai karakter seperti yang terdapat dalam cerita H.C. Andersen.
Saat malam tiba, ketika suasana gelap mulai menyelimuti langit Kopenhagen, dimulailah pertunjukan yang sebenarnya, di mana keindahan Tivoli benar-benar tampak mempesona. Illumination Show at Tivoli, itulah yang tertulis dalam daftar acara yang saya lihat di depan pintu masuk tadi. Lebih dari seratus ribu cahaya lampu warna-warni dengan kekuatan lebih dari satu juta watt menyinari setiap pelosok taman! Pemandangan indah yang terlihat di siang hari menjadi makin memesona dengan permainan cahaya lampu di malam hari.
Ya, memang Tivoli telah membuat banyak orang jatuh cinta; sehingga untuk itu banyak yang sengaja berlama-lama hanging-out di taman yang jika namanya dieja dari belakang, maka akan terbaca kata I LOV IT (I love it). Kesemuanya menunggu pertunjukan puncak pesta kembang api raksasa yang diselenggarakan setiap malam Rabu dan Sabtu saat langit benar-benar gelap total. Dan di musim panas, langit Kopenhagen baru benar-benar gelap saat jarum jam menunjukkan angka di atas jam 11 malam!