Properti 2014 Waktunya Bangkit Kembali

    Sudah menjadi rahasia umum, nilai properti selalu bertumbuh setiap tahun. Dengan demikian konsumen dipastikan break event dan bahkan meraih keuntungan. Namun regulasi pemerintah, sempat menghambat laju pertumbuhan properti di semester 2 tahun 2013.

     Berbagai persoalan, mulai dari kondisi ekonomi global – termasuk isu tapering Amerika Serikat, kenaikan BI Rate di penghujung 2013 (yang terakhir sudah mencapai 7.50% dan masih bisa naik lagi ) serta kebijakan Bank Indonesia yang membatasi kepemilikan hunian melalui kredit yang dibiayai perbankan, memang membuat angka transaksi yang dilakukan para investor properti hanya bertumbuh tak lebih dari 10 % dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Meski melambat, namun angka pertumbuhan ini melegakan, karena mencerminkan sektor properti tetap diminati dan prospektif sebagai sarana investasi.

     Meski berimbas pada kenaikan suku bunga kredit perbankan, namun jika dilihat dari sisi manfaat yang bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar – langkah ini diharapkan akan mampu menekan tingkat inflasi sekaligus menguatkan kembali nilai Rupiah yang telah sempat menembus level Rp 12 ribu-an per US Dollar, maka kenaikan BI Rate sebenarnya bagus buat perekonomian. Tapi disisi lain, dapat berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi karena menyebabkan bank jadi lebih ketat dalam menyalurkan kredit - termasuk ke sektor properti (KPR & KPA). Kenaikan tingkat suku bunga karena kenaikan BI Rate juga bisa menyebabkan usaha perbankan lebih rawan terhadap risiko kredit macet, yang akhirnya menyebabkan bank yang bersangkutan merugi.

      Adapun tapering adalah pengurangan pembelian obligasi oleh Federal Reserve (The Fed, bank sentral Amerika ) setelah mencapai batas tertentu untuk ‘mengistirahatkan’ perekonomian setelah sebelumnya didorong untuk “ terus berlatih “ agar bisa bertumbuh, karena ketika perusahaan / masyarakat Amerika menerima dana dari The Fed bukan berarti perekonomian AS secara otomatis bisa langsung tumbuh lagi, melainkan masyarakat harus memutar uang tersebut untuk konsumsi, investasi dll, kemudian baru perekonomian akan tumbuh. Upaya masyarakat dalam memutar uang itulah, seperti contohnya pengusaha yang segera membangun pabrik setelah memperoleh pinjaman bank. Ini bisa dianalogikan sebagai “ latihan “ untuk tujuan untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri, dan pada akhirnya menumbuhkan perekonomian negara secara keseluruhan.

Bakal Kian Inovatif

      Menghadapi situasi ini, tentunya para pengembang akan berusaha mengantisipasi agar bisnis properti bisa berkibar kian kencang di tahun Kuda 2014. Diprediksi, hunian dengan harga dibawah Rp 600 juta akan semakin diminati konsumen. Mereka yang berinvestasi pada residensial tipe ini, akan menuai keuntungan finansial baik dari hasil sewa maupun capital gain akibat selisih harga unit.Disisi lain, pengembang dituntut untuk menjaga kualitas bangunan sekaligus inovatif dalam menghadirkan produk. Misalnya seperti di Vancouver Kanada, yang menyediakan rumah sederhana dengan ruang terbuka yang luas sehingga terkesan pemilik unit memiliki taman berukuran besar walau secara faktual merupakan lahan milik bersama.

Konsep hunian ramah lingkungan, diprediksi akan semakin diminati calon konsumen. Tak sekedar smart home, namun yang bercita rasa eco-house technology – yakni memaksimalkan pencahayaan alami dan menggunakan material yang mampu mereduksi panas di siang hari. Dengan demikian, penggunaan listrik untuk pendingin udara maupun lampu bisa di minimalisir. Selain itu, penggunaan Freon juga akan berkurang drastis dan baik bagi ozone.

Berharap Dukungan Pemerintah

     Diharapkan, pembangunan infrastruktur juga akan kian merata sehingga akan mengurangi over value nilai nominal properti di lokasi tertentu. Dengan demikian, harga hunian jadi kian terjangkau bagi berbagai lapisan masyarakat. Real Estate Indonesia ( REI ) pun terus berusaha melobi pemerintah dan kalangan perbankan guna memudahkan penyaluran kredit bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin memiliki hunian, serta insentif bagi pembangunan rumah murah baik berupa kemudahan perijinan maupun potongan pajak guna menekan production cost yang tentunya berimbas pada harga jual unit.“

      Back log perumahan di Indonesia kini mencapai 2,7 juta unit dan terus bertambah sedikitnya 200 ribu per tahun. Pemerintah harus segera mengambil langkah kongkret untuk mengatasi masalah ini, diantaranya dengan menyediakan rusunawa – karena papan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat mendasar,“ tegas Ir. Setyo Maharso, ketua badan pertimbangan organisasi REI.Maharso mengungkapkan, indikator utama kemiskinan menurut BAPPENAS dapat dilihat dari kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak. Juga terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif. Dengan demikian, hunian yang layak merupakan langkah pengentasan kemiskinan masyarakat yang harus didahulukan dibanding kebutuhan lain non primer seperti misalnya mobil murah.