Musim HIJAU Para PENGEMBANG
- Kategori Induk: PROPERTY & REFERENSI BISNIS
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Selasa, 10 Juli 2012 18:44
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 1894
- 10 Jul
Agar orisinilitas dan kenyamanan penghuninya tetap terjaga, para pengembang kini semakin rajin menularkan konsep kawasan berbasis lingkungan hijau alias green property.
Konsep pengembangan properti di tanah air terus bergulir bahkan telah menyentuh kepada kesadaran penghuninya tentang kualitas lingkungan. Jika dahulu popularitas arsitektur fisik bangunan yang mengadopsi gaya ramah lingkungan membanjiri pasar, belakangan mulai ditinggalkan. Beragam konsep yang bertema lingkungan kini mewarnai pasar properti tanah air. Sebut saja, mulai dari konsep rumah taman, rumah kebun hingga yang teranyar adalah konsep hutan alias forestry.
Hanya saja, konsep lingkungan terkadang sumir ketika orisinilitas lahan menjadi imitasi dengan dalih menyatu dengan alam. Itu sebabnya, para pengembang tak mau dituding sebagai ‘biang kerok’ perusak lingkungan, dengan pertimbangan bahwa proyek hunian harus dibangun di atas lahan yang diperuntukkan bagi kawasan hunian dan bukan di daerah resapan air. “Pembangunan rumah dan pengembangannya saat kini telah bergeser dan mengarah kepada tren berkelanjutan (sustainable). Hal itu disada
seiring dengan bertambahnya penduduk akan mendeposit kebutuhan perumahan. Namun, ketersediaan lahanmasih terbatas , sehingga daya dukung lingkungan akan semakin minim,” kata Iwan Ismaun. Dosen Arsitektur Lansekap Universitas Trisakti Jakarta itu mengatakan komposisi ruang terbangun dan tak terbangun telah disesuaikan dengan peraturan yang berlaku di setiap kawasan. “Idealnya, kawasan hunian koefisien dasar bangunan (KDB) maksimal 70 persen dan sisanya koefisien dasar hijau (KDH) sebesar 30 persen,” tukasnya.
Perhatian Utama Pengembang
Karenanya, konsep lingkungan alami pada proyek properti sambung Iwan harus menjadi perhatian utama para pengembang. ”Karena secara tidak langsung lingkungan alami dapat menjalankan fungsi-fungsi ekologis, sosialbudaya
dan estetika,” ujar Iwan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) misalnya, harus dipahami sebagai lahan atau kawasan, berbentuk area atau jalur yang mengandung unsur dan struktur alami untuk menjalankan proses-proses ekologis. Jadi, jika ditata dengan baik maka akan otomatis membentuk suatu kesatuan jaringan terpadu, menciptakan ”sistem ruang terbuka hijau ” atau ”infrastruktur hijau” bagi keseimbangan ekosistem hunian.
Karenanya, jika membangun harus merubah lingkungan alam menjadi lingkungan binaan (built environment). Karena merubah alam berarti merubah ekosistem. Perubahan tersebut seharusnya mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lahan (carrying capacity) dan meminimalkan dampak negatif pembangunan. Artinya setiap pembangunan pengembang harus memperhatikan proses-proses ekologis agar tetap berjalan secara seimbang. Proses-proses alam harus dipandang sebagai value, karena setiap lahan mempunyai nilai intrinsik masing-masing. Artinya, setiap lahan mempunyai nilai kecocokan untuk penggunaan tertentu (land suitability). Misalnya, daerah cekungan yang
selalu tergenang air lebih cocok untuk situ atau danau yang berfungsi untuk retensi air (water retention) dan dapat digunakan untuk area rekreasi. Sedangkan, daerah dengan jenis tanah ber- permeabilitas tinggi, cocok atau sesuai untuk daerah hijau, karena dapat meresapkan air hujan secara optimum untuk mengisi air tanah. “Dengan pendekatan tata ruang terpadu berbasis ekosistem, RTH dapat menjadi pembentuk struktur utama ruang yang layak huni, sehat dan berkelanjutan”. (Teks : Simon Andar / Foto : Ricky)
Kriteria Properti Hijau
Kebijakan pro-lingkungan. Perumahan harus dibangun pengembang sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan, Lingkungan Hidup, dan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruangan. Menerapkan sistem pengelolaan sampah dan limbah. Membangun tempat pengelolaan sampah mandiri. Memiliki sistem pengendalian dan pengelolaan air yang memungkinkan 30 persen air hujan diserap ke dalam tanah.
Infrastruktur hijau. Pengembang harus membangun jaringan infrastruktur mendukung pengembangan permukiman hijau, seperti pemakaian material yang menyerap air, penyediaan jalur pejalan kaki, teduh, aman, dan aman bagi anak-anak ataupun kaum lanjut usia.
Transportasi hijau. Pengembang harus menyediakan tempat parkir, car pooling dan halte yang nyaman dan strategis yang mengajak warga untuk bepergian tanpa menggunakan kendaraan pribadi.
Bangunan hijau. Selain tersedia ruang terbuka hijau (RTH) volume bangunan dijaga agar biaya pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan tetap terkendali dan lebih hemat.