Tantangan Dan Prospek di 2009

Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan lewat dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Aktivitas perbankan syariah di Indonesia yang hampir seluruh pembiayaannya masih diarahkan kepada sektor bisnis riil di perekonomian domestik serta tidak memiliki tingkat integrasi tinggi dengan sistem keuangan global, menjadi faktor yang  “menyelamatkan” bank syariah dari imbas langsung krisis global.
Penyaluran pembiayaan selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan mencapai 17.6 persen dari triwulan ketiga tahun 2007 atau 42.9 persen pada triwulan ketiga tahun 2008, dengan nilai yang disalurkan mencapai Rp37,7 triliun. Sedangkan untuk jaringan kantornya sendiri, pada tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) juga ikut bertambah. Sampai dengan Oktober 2008 sudah berjumlah lima BUS. Sehingga saat ini sudah ada 1.440 kantor cabang bank konvensional yang sudah memiliki layanan syariah.
Tahun 2009 ditargetkan akan berdiri 9 bank umum syariah baru. Enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah, Bank Panin Syariah  dan Bank NISP Syariah. Sedangkan tiga lainnya berasal dari investor asing. Namun belum ada kepastian didirikan dengan cara merger bank lokal atau berdiri sendiri. Selanjutnya akan direalisasikan penerbitan Corporate Sukuk oleh bank syariah untuk memperkuat modal dasar. “Yang tak kalah penting, meningkatnya pemahaman masyarakat dan preferensi untuk menggunakan produk dan jasa bank syariah. Demikian pula perbankan syariah dinilai sebagai bank universal,” ujar Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah.
Namun bagi kalangan bankir syariah, untuk mendongkrak perkembangan pembiayaan nonribawi itu, instrumen operasi moneter syariah harus terus dilengkapi, dikarenakan operasi moneter syariah (OMS) yang baru saja diatur oleh Bank Indonesia (BI) belum maksimal. Menurut  Direktur Utama Bank Mega Syariah (BMS) Beny Witjaksono, instrumen operasi moneter syariah yang ada saat ini masih belum lengkap karena baru terdapat repo surat berharga syariah negara (SBSN). Sedangkan untuk “fine tuning expansion”, “fine tuning contraction” dan fasilitas lelang penyerapan dana Bank Indonesia (Fasbi) masih belum ada.
Tugas BI selanjutnya untuk menyempurnakan sitem keuangan syariah memang harus terus ditingkatkan seiring berkembang pesatnya transaksi keuangan syariah. Deputi Gubernur BI sendiri pernah menyatakan Bank Indonesia (BI) berketetapan merumuskan strategi besar pengembangan pasar syariah, sehingga pangsa lima persen dibandingkan bank konvensional lebih cepat tercapai dari saat ini sekitar 2,2 persen.
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis yaitu;
Pertama, Skenario Proyeksi Pesimis. Menurut skenario ini, di mana pertumbuhan berlangsung secara organik diproyeksikan sebesar 25% dengan total asset 57 triliun. Proyeksi pesimis ini didasarkan pada kondisi perlambatan makroekonomi akibat krisis ekonomi global. Meskipun demikian, tetap terjadi pertumbuhan antara lain dikarenakan keberhasilan edukasi publik dan promosi perbankan yang dilakukan baik oleh Bank Indonesia sendiri, bank-bank syariah dan organisasi IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi islam Indonesia).
Kedua, Skenario Proyeksi Moderat. Pertumbuhan bank syariah diproyeksikan mencapai 37 %, dengan total asset Rp 68 triliun. Proyeksi moderat ini didasarkan pada beberapa indikator, Pertama, Terjadinya proses konversi beberapa UUS menjadi BUS. Pada tahun 2009 setidaknya lahir 9 Bank Umum Syariah baru, sehingga nantinya jumlah total menjadi 12 Bank Umum Syariah. Kelahiran bank umum ini dipastikan akan mendongkrak pertumbuhan bank syariah secara signifikan. Momentum krisis ekonomi global akan meningkatkan preferensi terhadap perbankan syariah, karena makin banyak umat yang tersadarkan akan keunggulan keunggulan bank syariah.
Ketiga, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai kepastian hukum berhasil mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah.
Dari tiga skenario yang dikemukakan di atas, skenario yang paling mendekati kebenaran adalah skenario moderat, yakni pertumbuhan 37 %, dengan total asset Rp 68 triliun. Namun demikian, mungkin saja pertumbuhannya melebihi angka moderat tersebut, Karena kemungkinan itulah maka dibuat juga proyeksi pertumbuhan yang optimis, yakni pertumbuhan mencapai 75 %, dengan total asset Rp 87 triliun.

Tembus Rp. 37,7 Triliun
Pada tahun 2008, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.37,7 triliun. Pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan syariah 36,7% (yoy), tabungan mudharabah mencapai 31,65% dan deposito mudharabah mencapai 38,79%, yang merupakan proporsi terbesar pada triwulan ketiga tahun 2008.
Sementara itu pembiayaan diberikan kepada UMKM oleh industri perbankan syariah dengan nominal mencapai Rp27,18 Trilyun (72,13%) sampai dengan posisi September 2008. Pembiayaan kepada non UMKM mencapai Rp10,5 Trilyun (27,87%) dan pertumbuhan pembiayaan kepada sektor UMKM sampai dengan posisi September 2008 (ytd), sebesar 38,91%.
Tahun 2008, ROA perbankan syariah mencapai 2,5%, ROE 76,7%, rasio BOPO pada triwulan ketiga tahun 2008 sebesar 73,6%. Kontribusi utama dari piutang murabahah mencapai 45,3% dari seluruh total pendapatan perbankan syariah. Tahun 2008 kondisi permodalan perbankan syariah dibandingkan dengan pembiayaan yang diberikan masih tergolong rendah (dibawah 8%).
Berdasarkan fakta diatas dapat dikatakan industri perbankan syariah menunjukkan ketangguhannya sebagai salah satu pilar penyokong stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan kinerja pertumbuhan industri yang fantastis boleh membuat para pakar tersenyum. Namun harus diingat bank syariah harus tetap dikawal dan didesak untuk senantiasa istiqomah dalam penerapan manajemen resiko, syariah complience dan menerapkan Godd Syariah Govanrnance.
Para pengawas Syariah harus aktif dan produktif serta tidak boleh sungkan untuk menegur setiap penyimpangan. Jika bank syariah dinilai menyimpang, akan berakibat pada resiko reputasi yang pada gilirannya akan mengakibatkan resiko likuiditas. Hal ini dapat memundurkan bank-bank syariah di masa depan. Penelitian terkini (2008) yang dilakukan Bank Indonesia kerjasama dengan Earnets & Young, menunjukkan bahwa resiko reputasi akibat mengabaikan syariah berdampak buruk bagi kemajuan dan perkembangan perbankan syariah.