Langkah Cerdas Memotivasi Debitor

Dalam kondisi pasar properti yang dibebani tingginya suku bunga KPR saat kini dibutuhkan langkah cerdas untuk membuat debitor tetap nyaman. Misalnya membuat program diskon harga atau memperbanyak pola cicil bertahap, sehingga pasar punya alternatif untuk menyesuaikan dengan kondisi keuangan debitor. SESUNGGUHNYA industri properti sempat bergairah saat suku bunga mencapai prestasi terbaiknya pada kisaran 9% hingga 12% dalam rentang waktu cukup lama sebelum BI Rate beranjak naik belakangan ini.
Harapan pernyataan kemungkinan pemangkasan BI Rate yang disampaikan otoritas moneter beberapa waktu lalu, pasca kenaikan BI Rate ke level 9,50% menjadi stigma positif bagi industri properti untuk mengulang masa-masa manisnya.
Hanya saja, pernyataan itu belum sampai dalam tataran implementasi karena hanya wacana respons dari tren pemangkasan suku bunga oleh banyak Bank Sentral di Eropa dan Amerika Serikat.
 Untuk itu, pemangku kepentingan industri properti tidak bisa menyandarkan penyelesaian persoalan kepada rencana BI itu terkait dengan kenaikan suku bunga kredit, terutama KPR.

Paket developer
Suku bunga kredit sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada penurunan volume konsumer kredit perbankan. Namun, peristiwa ekonomi –kenaikan BBM– tempo hari yang mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat, turut memberi andil terhadap lambatnya geliat konsumer kredit.
Bahkan, kredit pemilikan rumah (KPR) yang sejatinya merupakan produk konsumer paling banyak menelan kredit perbankan pun menurun cukup drastis. Hal ini, terlihat jelas pada data penjualan developer yang hanya berkisar antara 30%-40% dari angka penjualan semester I tahun lalu. Memang, kendati menurun, persentase KPR masih merupakan yang paling tinggi ketimbang kredit konsumer lainnya. Namun, segmentasinya pun jelas terlihat dari porsi penjualan, pada range harga rumah yang terjual melalui fasilitas KPR.
Rumah yang terjual melalui fasilitas KPR perbankan pada tahun ini umumnya perumahan untuk segmen masyarakat menengah bawah dengan range harga di bawah Rp500 juta.
“Untuk menggenjot volume KPR, bank sebaiknya mengeluarkan paket-paket developer yang tidak memberatkan customer. Selain kemudahan prosedur dan bunga rendah, alangkah baiknya bila biaya-biaya dan cara pembayaran diterapkan secara lebih murah dan mudah,” ungkap Cahya Mulyana Marketing Manager PT Mitra Musya Mandiri.
Namun, sambung Cahya penyebab utama menurunnya volume KPR bank bukan cuma suku bunga tinggi, melainkan juga pengaruh menurunnya daya beli masyarakat. “Persoalannya, butuh waktu agak panjang untuk memulihkan daya beli masyarakat. Paling tidak, kita masih harus menunggu minimal enam bulan untuk melihat progres kemampuan daya beli masyarakat. Itupun, masih sangat tergantung kondisi makroekonomi”. Yang pasti, meningkatnya daya beli masyarakat akan berpengaruh langsung pada peningkatan volume KPR perbankan. Inti pentingnya, tentu saja menunggu momentum pulihnya daya beli masyarakat.

Langkah Terobosan  dan Motivasi
Kendati demikian, ada beberapa langkah terobosan yang harus dilakukan agar properti harus tetap mendapatkan pasarnya. Langkah terobosan yang harus dilakukan itu adalah dengan cara menstimulus pasar yang terguncang akibat kenaikan suku bunga.
“Sebagai contoh membuat program diskon harga atau memperbanyak pola cicil bertahap, sehingga pasar punya alternatif untuk menyesuaikan dengan kondisi keuangan mereka,” sebut Cahya.
Hal itu memang pernah dilakukan pengembang sekitar 3 tahun lalu dengan melakukan subsidi bunga. Banyak pengembang yang menggandeng bank penyedia KPR untuk melakukan program subsidi bunga KPR tahun pertama dengan menawarkan suku bunga hanya 9%, sehingga suku bunga pasar yang saat itu berkisar 12% bisa ditekan. Adapula program bebas uang muka atau diskon harga. Semuanya berlomba untuk menciptakan iklim kondusif agar pasar kembali bergairah.
Bagaimana dengan debitor?. Tentunya kenaikan bunga KPR pastilah menggangu daya tahan mereka, terutama bagi mereka yang sudah menjalani tahap pencicilan kredit.
Sebut saja Simon, debitor KPR salah satu bank BUMN yang mengalami kenaikan bunga hingga 3% sehingga cicilannya naik dari Rp2,3 juta menjadi Rp2,7 juta per bulan. Sebelumnya karyawan salah satu perusahaan swasta di Jakarta ini juga sudah mengalami kenaikan serupa beberapa kali dalam rentang waktu setahun ini.
Kenaikan terakhir sebesar Rp400.000 tersebut tentulah memukul neraca belanja Simon yang justru belum mendapatkan kenaikan penghasilan serupa ketika kenaikan bunga KPR yang progresif tersebut.
“Tentunya dalam hal ini, pengembang harus memberikan ruang untuk proses restrukturisasi secara personal atau secara kasuistik berupa perpanjangan tenor kredit atau malah diskon cicilan secara fleksibel. Cara ini setidaknya akan mampu memberikan jaminan sehingga debitur tak pindah akad kredit atau membatalkan transaksinya, sehingga potensi cash in pengembangpun menjadi lancar,” terang Cahya.
Selain itu pengembang harus tetap lebih fleksibel menghadapi kasus kenaikan suku bunga KPR saat ini dengan memberi beberapa solusi dan alternatif  kepada debitor. Dengan kata lain, pengembang perlu melakukan pendekatan sosial kepada debitor dengan tidak hanya berorientasi teknis atas sebab akibat dari perkembangan kebijakan moneter terhadap kenaikan BI Rate tersebut.
Sebab, pengembang dan perbankan punya kekuatan dan energi untuk membantu menggairahkan pasar properti di tengah kelesuannya. “Akan tetapi, semua itu tentu dengan tetap menggunakan prinsip kehati-hatian, sehingga pelonggaran dan fleksibilitas tidak justru merusak keadaan”.