Agar Optimal Mengatasi Backlock

Konsep hunian (horisontal dan vertikal) yang layak adalah salah satu dambaan dan kebutuhan pokok manusia setelah pangan dan sandang. Konsep terjangkau adalah tugas pemerintah agar kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan untuk masyarakat menengah keatas atau masyarakat mampu dapat memenuhi kebutuhan perumahan melalui pasar bebas atau free market tanpa intervensi dari pemerintah.  
      Selain itu, dalam masalah penyediaan hunian yang layak dan terjangkau tentunya tidak terlepas dari berbagai peran pemangku kepentingan (stakeholder), mulai dari peran regulator -seperti Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Kementrian BUMN, Departemen Keuangan dan Pemerintah Daerah. Sedangkan peran operatornya adalah PERUMNAS, BTN, REI, APERSI dan lainnya.

Disamping itu, yang paling penting adalah bagaimana perbankan menciptakan sumber pembiayaan jangka panjang yang murah. Ini dikarenakan para operator banyak menggunakan sumber pembiayaan jangka pendek yang menyebabkan tingginya biaya ekonomi, hingga makin tidak terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Peran Stakeholder
     Lantas bagaimana peran stakeholder untuk mengatasi backlock yang menjadi problematik diantara penyediaan perumahan, sehingga kebutuhan akan perumahan khususnya bagi MBR dapat terpenuhi?. Tentunya, kembali lagi kepada partisipasi peran pemangku kepentingan tersebut. 
      Seperti halnya Kementrian Perumahan Rakyat. Sejatinya, sebagai regulator kementrian ini dapat mengatur dan memaksimalkan semua stakeholder utama, untuk memainkan peran yang maksimal dengan anggaran yang lebih baik. “Sehingga tidak ada institusi atau departemen lain yang overlaping dalam membangun perumahan,” kata Himawan Arif Dirut Perumnas pada diskusi forwapera beberapa waktu lalu.
     Selain itu, menurut Himawan peran Kementrian BUMN juga harus tampak misalnya dengan memberdayakan Perumnas sebagai satu-satunya pengembang pemerintah di bidang hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah lebih besar lagi. Diantaranya sebagai pengelola bank tanah (land banking) melalui sinergi BUMN dalam pemanfaatan tanah-tanah yang tidak produktif.


     Begitu juga halnya dengan Pemerintah Daerah, misalnya untuk masalah-masalah perijinan dan penyedian lahan. Ini tentunya akan mendorong MBR dan membantu Pemerintah Daerah dalam penataan kota dan membuka kawasan baru. Namun, disini peran Perumnas harus dibedakan. Apabila Perumnas diberikan tugas yang jelas maka profit bukanlah menjadi nomor satu. Perumnas hanya sebagai nilai tambah saja sehingga masyarakat golongan berpenghasilan rendah akan bisa memiliki akses untuk memiliki rumah.
    Hal penting lainnya adalah peran perbankan. Pihak perbankan diberikan support yang lebih maksimal, misalnya bagaimana menciptakan skema pembayaran jangka panjang yang murah, seperti tabungan perumahan  untuk seluruh pekerja BUMN dan swasta.
    Peran pengembang pemerintah dan swasta sebagai pelaku, dalam hal ini harus dibuat aturan dan penugasan yang jelas. Misalnya, antara pelaku dalam hal ini Perumnas sebagai pengembang pemerintah dan pengembang private. Apabila hal ini tidak diatur maka kita tidak bisa menyelesaikan sektor papan dengan hanya melibatkan private saja. Bagaimanapun pakemnya private sektor atau korporasi orientasinya adalah profit oriented. Hal ini sangat dipahami bahwa para pengembang menuntut kenaikan harga karena memang ternyata di lapangan terjadi kenaikan harga, tetapi juga jika melihat bahwa daya beli masyarakat yang adapun tidak berkembang lebih cepat. Dan ini tidak terjadi pada tahun ini saja, karena sudah sekian lama, sehingga menimbulkan backlock. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya penataan kelembagaan.
   
Pemberdayaan Perumnas
    Jadi, seyogyanya Perumnas bisa diberi tugas dimana sektor private tidak bisa masuk. Segala konsekwensinya baik masalah land banking, prasarana, pembangunan kebijakan harus diatur sehingga masyarakat yang memang tidak memiliki kemampuan akan lebih sulit memiliki rumah apabila harga rumah semakin mahal sehingga hanya mereka yang memiliki kemampuan yang bisa memiliki.
    Mereka yang tidak memiliki kemampuan akan terkucilkan dan terpinggirkan. Inilah yang harus ada solusinya sehingga wajib ada kelembagaan  kementrian yang mengatur penugasan kepada Perumnas. Harus diperjelas, sehingga Perumnas akan mengambil peran dimana sektor private tidak bisa masuk dan Perumnas bisa berperan dan bersinergi dengan sektor private dari penyediaan lahan maka terjadilah sesuatu sinergi.
    “Inilah yang dimaksud dengan memaksimalkan stakeholder utama dalam penyelesaian persediaan perumahan”.
Sebenarnya Perumnas dapat diberdayakan menjadi Lembaga atau instasi yang dikoordinir Menpera untuk dapat memaksimalkan perannya, karena Perumnas telah memiliki jaringan outlet yang cukup banyak, memiliki track record dan memiliki pengalaman. Seandainya ada kekurangan bisa diperbaiki, diperjelas sehingga tidak perlu tarik menarik antara kepentingan pengembang atau pelaku dengan kepentingan masyarakat. Pemerintah bisa mengambil jalan tengah dengan membagi tugas kepada para pelaku penyediaan perumahan.
Artinya, perlu ada solusi, supaya 

    Artinya, perlu ada solusi, supaya masyarakat yang berpenghasilan terbatas bisa mendapat aksebilitas dimana pengembang private tidak mengalami kesulitan. Sekarang tinggal bagaimana pola alokasi subsidi, maupun stimulus pemerintah, insentif pemerintah kepada pihak-pihak tertentu bisa diatur mekanismenya.
    Apabila land banking diberikan kepada Perumnas, maka Perumnas secara maksimal dapat membangun misi pemerintah. Bagian lahan yang tidak dibangun dalam misi pemerintah dapat dikerjasamakan dengan pengembang private, sehingga pengembang private tidak lagi memiliki masalah tata ruang, infrastruktur dan masalah kelistrikannya. Sedangkan masalah penyaluran, pemerintah tidak perlu memberikan insentif bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas, karena itu bisa diselesaikan melalui pasar bebas atau free market.