Dimana Tamanmu Kini?

      Seiring dengan kebijakan pemerintah yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangkah Menengah (RPJM) pembangunan
gedung-gedung baru di Jakarta akan terus
berlangsung. Apalagi penyebabnya adalah
tendensi perubahan gaya hidup dan beberapa
pertumbuhan lainnya seperti jumlah kendaraan
yang sejalan dengan tumbuhnya pembangunan
pusat belanja maupun apartemen. Otomatis,
pencemaran udarapun tak terbantahkan apalagi
tidak dihuni sebagian besar taman atau hutan
kota.

     Dari sisi ekonomi tentu pembangunan
gedung komersial menguntungkan, dan peluang
untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
daerah. Sedangkan, bagi investor di bidang
properti selain menguntungkan juga menjadi
peluang untuk memangkas ruang Jakarta yang
sangat terbatas. Hal ini merupakan fenomena
yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap
pembangunan di Jakarta.
     Persebaran gedung-gedung bertingkat
alias hutan beton tentunya akan mengikuti pola
persebaran yang hampir merata di seluruh DKI
Jakarta. Dengan luas 650 kilometer persegi, Jakarta
kini dipenuhi tempat-tempat perbelanjaan dan
apartemen. Berdasarkan data Biro Perekonomian
DKI Jakarta, saat ini ada sekitar 364 pusat
perbelanjaan, baik yang berupa mall, toserba,
pertokoan, dan lainnya di DKI Jakarta. Sementara
tahun 2008 tercatata sejumlah 57 Mal.
      Kehadiran bangunan-bangunan baru
pencakar langit itu makin menambah kepadatan
kota dan meningkatkan kemacetan lalu lintas
di Jakarta. Hal itu dikarenakan pengunjung dari
pusat perbelanjaan itu sebagian besar adalah
konsumen yang mengenakan berkendaraan
bermotor (mobil dan motor), yang pada sebagian
besar kasus, tidak atau belum dirancang untuk

melayani dan menampung beban-beban
lalu lintas tambahan yang ditimbulkannya.
Perubahan-perubahan itu, tidak otomatis disertai
dengan analisis dampak lalu lintas (Amdalalin),
sehingga kemudian melahirkan problem baru
berupa kemacetan.
Lingkungan Alami
      Lalu bagaimana mengatasi masalah
lingkungan kota agar menjadi kota yang layak
huni, berkualitas dan berkelanjutan?. Iwan
Ismaun Dosen Arsitektur Lanskap Universitas
Trisakti Jakarta mengatakan bahwa keberadaan

lingkungan alam di perkotaan harus menjadi
perhatian bersama kita. ”Sebab, lingkungan alam
yang dikenal dengan ruang terbuka hijau dapat
menjalankan fungsi-fungsi ekologis, sekaligus
fungsi sosial-budaya dan estetika,” ujarnya.
     Menurut Iwan, ruang terbuka hijau (RTH)
dipahami sebagai suatu lahan atau kawasan,

berbentuk area atau jalur yang mengandung
unsur dan struktur alami yang dapat menjalankan
proses-proses ekologis. Jadi, jika berbagai jenis
RTH dengan fungsinya ditata dengan baik akan
membentuk suatu kesatuan jaringan terpadu
menciptakan ”sistem ruang terbuka hijau kota”
atau ”infrastruktur hijau” untuk keseimbangan
ekosistem kota.
      Karenanya, jika membangun harus merubah
lingkungan alam menjadi lingkungan binaan
(built environment). Merubah alam berarti
merubah ekosistem. Perubahan tersebut
seharusnya mempertimbangkan daya dukung
dan daya tampung lahan (carrying capacity) dan
meminimalkan dampak negatif pembangunan.
Artinya dalam pembangunan, proses-proses
ekologis harus tetap dapat berjalan secara
seimbang. Proses-proses alam harus dipandang
sebagai nilai (value), karena setiap lahan
mempunyai nilai intrinsiknya masing-masing.
      Artinya setiap lahan mempunyai nilai
kecocokan untuk penggunaan tertentu (land
suitability). Daerah cekungan yang selalu
tergenang air lebih cocok untuk situ atau danau
yang berfungsi untuk retensi air (water retention)
dan dapat digunakan untuk area rekreasi. Daerah
dengan jenis tanah berpermeabilitas tinggi,
cocok atau sesuai untuk daerah hijau, karena
dapat meresapkan air hujan secara optimum
untuk mengisi air tanah.
     Penggunaan dan pemanfaatan yang
optimum suatu lahan akan meningkatkan
nilai-nilai sosial. Dengan demikian pertanyaan

esensial dalam pembangunan suatu wilayah/
kota adalah “bukan dimana boleh membangun,
tetapi dimana tidak boleh membangun”. Hal
ini merupakan pendekatan ekologis berbasis
ekosistem dalam penataan ruang. Membangun
selaras dengan alam!.
      Oleh karenanya, pemerintah daerah harus
menjadi ujung tombak dalam menentukan
kebijakan pembangunan kotanya. Namun
demikian masyarakat juga harus dididik
untuk mencintai lingkungan, masyarakat
yang berwawasan ekologis. Masyarakat yang
bergaya hidup hijau. Dengan pendekatan tata
ruang terpadu berbasis ekosistem, dimana RTH
menjadi pembentuk struktur utama ruang kota,
diharapkan terwujud “kota hijau” (green city). Kota
hijau yang layak huni, sehat dan berkelanjutan
(livable, habitable, sustainable). Sehingga kitapun
tak perlu risau mencari taman d tengah kota.